Monday, February 15, 2010

URGENSI HUKUM ADAT DALAM ERA GLOBALISASI

Banyak orang berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum peninggalan masa lampau yang selalu berorientasi pada masa lalu, sehingga kurang cocok dengan kehidupan modern seperti sekarang ini, yang memasuki era globalisasi. Pendapat demikian, barangkali, tidak keliru tapi juga tidak seluruhnya benar. Dikatakan benar, karena diakui bahwa hukum adat bersifat tradisional, sementara kehidupan pada era globalisasi menuntut segala sesuatu yang bersifat modern. Tidak seluruhnya benar, karena ternyata terdapat beberapa peraturan perundang-undangan terbentuk, yang diintroduksi dari hukum adat. Selain itu, hukum adat juga dinamis sesuai dengan dinamika manusia yang menganut hukum adat tersebut.
Dalam lapangan hukum, substansi pembahasan bukan terletak pada 'apakah hukum itu tradisional karena warisan masa lampau atau bukan', melainkan pada makna keadilan yang terkandung dalam hukum tersebut. Acap kali dalam membahas masalah hukum, kita terjebak pada pemahaman hukum dalam arti prosedural, bukan hukum dalam arti substantif-yang memenuhi rasa keadilan. Sehingga tidak disadari, terjadi pereduksian makna dari hukum secara substantif (yang memenuhi rasa keadilan) menjadi hukum secara prosedural. Terutama ketika kehidupan manusia memasuki era globalisasi yang bercirikan modern, sekaligus sarat dengan tantangan dan persoalan kontemporer.
Globalisasi, pada umumnya orang memahaminya adalah adanya proses pada kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang meliputi seluruh bola dunia. Proses ini dimungkinkan dan dipermudah oleh adanya kemajuan dalam teknologi khususnya teknologi komunikasi dan transportasi . Pemahaman demikian tidak jauh beda dengan pemahaman globalisasi sebagai suatu proses yang merujuk pada “a single interdependent world in which capital, technology, people, ideas, and cultural influences flow across borders ...” . Dengan pemahaman yang demikian, berarti kita ini berangsur-angsur akan hidup dalam satu dunia (one world) di mana individu, kelompok dan bangsa (nation) menjadi lebih saling tergantung atau “interdependent” . Dalam masyarakat umat manusia yang global itu akan terjadi pola-pola hubungan sosial yang berbeda dengan sebelumnya . Dan yang demikian juga merupakan sebuah potret kehidupan sosial yang tidak dijumpai sebelumnya.
Proses globalisasi itu pada perjalanan berikutnya ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideology dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global. Proses globalisasi dengan paham kapitalisme itu, kemudian menemukan sebuah "teori" yang terpenting dari perjalanan kapitalisme, yaitu "modernisasi" dan "pembangunan".
Teori modernisasi dan pembangunan pada dasarnya merupakan sebuah gagasan tentang perubahan sosial . Modernisasi sebagai gerakan sosial ini bersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisi ke modern). Selain itu, modernisasi juga berwatak kompleks (melalui banyak cara dan disiplin ilmu), sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui melalui proses yang bertahap untuk menuju suatu homogenisasi (convergensi) dan bersifat progresif . Maka konsep modernisasi meliputi bidang-bidang yang majemuk, ada yang disebut modernisasi politik, modernisasi ekonomi, modernisasi teknologi, modernisasi pendidikan, termasuk moderniasasi hukum, dan sebagainya. Namun bidang-bidang yang majemuk itu sebenarnya dalam rangka menuju homogenisasi.

Singkatnya, modernisasi adalah menyangkut (orientasi) kehidupan yang lebih baik, dimana ilmu pengetahuan modern memainkan peranan penting. Dengan demikian Globalisasi ini bukanlah semata-mata suatu fenomena ekonomi (banyak yang merujuk pada peranan perusahaan-perusahaan raksasa transnasional-TNCs), tetapi merupakan gejala yang dibentuk oleh pengaruh bersama faktor-faktor politik, sosial, kultural dan ekonomi .
Dalam konteks yang demikian, rasionalisme dan empirisisme menjadi pendekatan yang dominan yang diterapkan dalam menghadapi atau menyelesaikan setiap persoalan. Segala sesuatu yang tidak rasional dan tidak empirik dianggap sebagai entitas yang tidak ada dalam kehidupan masyarakat. Rasionalisme dan empirisisme selanjutnya menjadi tolok ukur kebenaran. Sebagai contoh, pendekatan rasional dalam segenap kebijakan pemerintah dan pembangunan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan. Begitu pula pemerintah menganggap kebijakan yang tidak didasarkan pada ketentuan empiris, akan menghambat mobilitas faktor-faktor pembangunan.
Selain hal tersebut diatas, harus diakui bahwa globalisasi dengan modernisasinya dan dengan sekian banyak teori yang mendukungnya, ternyata memunculkan permasalahan kemanusiaan: moral, etika, kesusilaan, HAM dan lain-lain. Hal ini terjadi, antara lain, karena globalisasi, modernisme dan rasionalisme, cenderung mengabaikan "nurani", sehingga "pembangunan" menafikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki nurani, harkat dan martabat yang tidak bisa diukur dengan materi. Dan sehingga pembangunan justru menimbulkan permasalahan kemanusiaan disana-sini.
Globalisasi, pada perjalanannya juga membutuhkan dan akan menjadikan hukum sebagai alat untuk memuluskan sekian banyak “produk” globalisasi dan modernisasi. Paradigma hukum yang match dengan kebutuhan tersebut adalah “hukum positif”. Hukum positif, melalui azas legalitasnya mengharuskan adanya jaminan kepastian, dan kepastian itu hanya bisa didapat melalui pemikiran-pemikiran yang rasional dan bukti-bukti yang empiric.

Untuk mendapatkan makalah ini secara lengkap silahkan dowload disini....
URGENSI HUKUM ADAT DALAM ERA GLOBALISASI

No comments:

Post a Comment

komentar anda akan sangat berarti

Featured Post

MENJAUHI ANARKHISME DALAM BERAGAMA

Oleh : M. Fatikhun, S.Ag., M.H. Dewasa ini kita disuguhkan pada menguatnya fenomena kelompok umat Islam yang praktek kehidupan beragama ya...